![]() |
Sumber gambar https://id.pinterest.com/ |
Secarik kertas digengaman gadis itu berubah wujud
tak karuan. Ia meremas kertas bertuliskan permintaan maaf dari seorang kawan
lama. Tidak! Ia tidak akan memaafkan
penulis surat itu. Ia lemparkan kertas itu sembarangan. Itu merupakan kertas
yang entah keberapa berakhir tragis.
Namanya Diva. Ia memliki masa lalu yang tidak
mengenakkan akibat perbuatan si penulis surat. Diva akhirnya berhasil membuat
orang itu benar-benar merasa bersalah. Kini, ia kerap kali menerima
ucapan-ucapan permintaan maaf darinya. Namun ibarat pintu gerbang yang tertutup
rapat dan terkunci yang mana kuncinya tidak ada lagi, hatinya benar-benar
tertutup. Tertutup untuk memaafkan orang itu.
Diva melanjutkan aktivitas kesehariannya dan
membuang jauh-jauh kenangan menyesakkan itu. Ia harus melanjutkan hidupnya. Tak
baik jika ia terlalu berlarut-larut menyesali sesuatu yang sudah terjadi.
***
“Div, aku
akan menjadi orang pertama yang mendukungmu dalam banyak hal, termasuk
hubunganmu dengan dia.”
Diva menoleh
kearah temannya itu dan terkekeh. “Yakin kau tidak memiliki rasa dengki atau
keinginan untuk merebutnya dariku?” tanya Diva tiba-tiba. Ia sendiri sedikit
terkejut dengan apa yang ia lontarkan.
Temannya
tertegun sejenak, lantas menjawab, “Tidak! Untuk apa aku dengki ataupun ingin
merebut kepemilikan sahabatku. Bukankah itu jahat sekali, Div?”
Diva
mengangguk. Kemudian ia rengkuh temannya itu dalam pelukan. “Terima kasih
banyak, Sa. Kamu memang teman terbaikku.”
“Yakin cuma
teman? Bukannya sahabatmu?” Sasa bertanya menggoda. “Aaah, kamu!” Diva berseru
tepat di dekat telinga Sasa. Hal itu membuat Sasa berontak melepaskan pelukan Diva.
Bagai diputar di sebuah layar, kenangan itu muncul
di depan mata Diva. Ia berulangkali mencoba mencegahnya, tapi apa daya semua
itu seperti diputar otomatis dan tidak bisa dihentikan.
Omong kosong!
Maki Diva dalam hati. Semua itu omong kosong. Tak ada bukti kongkrit yang
mendukung ucapan Sasa. Justru Sasa lah yang menjadi orang pertama yang mejegal
kebahagiaan Diva. Ia merebut posisi untuk duduk di kursi pelaminan bersama
kekasih Diva. Itu sungguh memuakkan.
Meski sudah berlalu kurang lebih satu tahun sejak
pernikahan mereka, Diva masih merasakan perih saat mendengar nama mereka.
Perikahan itu adalah hal paling buruk sepanjang sejarah kehidupannya. Kemudian Diva
memilih untuk pergi meninggalkan tempat itu. Dengan alasan mengembangkan bisnis
yang sedang ia jalankan, Diva pindah ke kota lain. Mengembangkan bisnis keluarga
yang telah diserahkan kepadanya.
Bisnis kue yang menggeliat dengan pasti itu menjadi
tempat Diva melarikan diri dari rasa sakit. Kue-kue itu menjadi pelipur duka
yang efektif baginya. Ia lebih suka berkutat dengan clemek dan adonan kue.
Sudah berkali-kali Sasa meminta maaf padanya. Tak satupun yang Diva
pedulikan. Namun sampai kapankah Diva akan terus tidak peduli? Diva sendiri
juga tidak tahu pasti. Mungkin suatu saat ada seseuatu yang mampu meruntuhkan
benteng ketidakpeduliannya.
***
Bunyi telepon
genggam membuat Diva menggeliat dari tidurnya. Ah! Ia mengeluh sambil mencari-cari sumber suara tersebut. Mata
yang masih setengah terpejam membuat tangannya tidak mudah menemukan posisi
telepon. Baru sedetik kemudian ia dapat menjangkau telepon genggam itu. Namun
tepat sebelum ia mengangkatnya, dering handphone itu berhenti. Ia sudah berniat
untuk melemparkan kembali handphonenya, tapi benda itu kembali berbunyi. Dengan
sedikit malas-malasan ia menempelkannya ke telinga.
“Ya, halo,
selamat pagi,” gumamnya sedikit tidak jelas. Namun, demi mendengar suara isak
tangis di seberang sana, matanya sempurna terbuka. Kantuknya lenyap seketika.
“Div, Sasa, …”
“Sasa kenapa?”
Diva bertanya dengan tidak sabar.
“Datanglah ke
rumah, aku tunggu,” jawab orang itu. Telepon dimatikan dan menyisakan Diva yang
masih terbengong. Ia lantas mengecek pesan masuk di handphone. Oh tidak! Ia bergegas menyingkap selimut
yang membalut tubuhnya dan meluncur ke kamar mandi. Mandi seadanya dan mencomot
sembarang pakaian di lemari. Lantas berseru-seru tidak jelas sambil keluar
rumahnya.
“Aku mau
pulang, Pak,” katanya kepada Pak Jo, orang yang membantunya merawat rumah itu.
“Oh, iya, Mbak
Diva, hati-hati di jalan,” kata Pak Jo sambil membuka pintu gerbang. Diva
mengucapkan terima kasih sambil berlalu dengan mobilnya. Ia mengemudi seolah
kesetanan. Tujuannya satu, segera sampai ke rumah orang tuanya.
***
Cepat pulang, Nak. Sasa dini hari tadi
meninggal dunia saat melahirkan.
Pesan dari ibu
yang sempat ia lirik sebelum bergegas ke kamar mandi membuat Diva tersentak.
Luluh lantah semua benteng kemarahannya. Sasa sahabatnya yang pernah berhianat
meninggal dunia. Ini sungguh suatu tamparan keras. Diva tak mengerti kemana
lenyapnya semua kemarahan di hati. Ia meninggalkan semua itu dan bergegas
meluncur dengan mobilnya.
Di sepanjang
jalan berulang kali ia mengusap air mata. Bagaimanapun Sasa adalah teman
seperjuangannya. Kenangan suka duka bersama Sasa kembali menghiasi
pandangannya. Bagaimana ini? Ah, bagaimana pula dengan bayinya. Apakah bayi itu
baik-baik saja? Oh Tuhan, mengapa Engkau tega membiarkan bayi itu menjadi piatu
sejak hari lahirnya?
Berulang kali Diva
melanggar lampu merah. Ia tak peduli denga teriakan pengemudi-pengemudi lain. Ini darurat! Pekiknya dalam hati. Ia
harus segera sampai tujuan.
Satu jam
berselang, ia akhirnya sampai di depan rumah. Ia parkirkan mobilnya
sembarangan. Kemudian berlari menyeberangi pagar samping rumah. Menuju rumah Sasa.
Rumah mereka memang bersebelahan. Dan tadi pagi ibunya mengatakan bahwa jenazah
Sasa sudah dibawa ke rumah. Air mata Diva sudah tak mampu dibendung. Sebenci
apapun ia kepada Sasa, ia akan tetap kehilangan saat Sasa pergi selamanya.
“Maafkan aku, Sasa,”
bisiknya saat ia merengkuh tubuh Sasa yang sedingin dan sepucat pualam. Ia cium
kening sahabatnya. Semerbak wangi menusuk indera penciumannya. “Tenanglah di
sana.”
Diva lantas
menemui orang tua Sasa dan mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Sasa.
Sisa-sisa tangis masih nampak jelas di mata ibunda Sasa. Dan ia memeluk Diva
begitu erat. Seolah ingin memberitahu Diva bahwa semua ini sangat berat
baginya.
Diva menemani
ibu Sasa sampai jenazah di berangkatkan ke peristirahatan terakhir. Namun ia
tidak ikut ke pemakaman. Ia memutuskan pulang dan mengurung diri di kamarnya.
Merenung.
***
Ada sesal yang
terbit di hati Diva. Ia menyesal belum sempat berucap bahwa dirinya memaafkan Sasa.
Tapi apalah daya, waktu tak kan berputar kembali. Diva hanya bisa mendoakan
yang terbaik untuk Sasa dan keluarganya.
Desakan air
mata di pelupuk mata Diva seolah tak mau berhenti bahkan hingga seminggu
kemudian. Ia tahu semua ini salah. Tidak seharusnya dia menangis terus menerus.
Namun dirinya seolah tak kuasa menatap cerahnya mentari tanpa dapat berjumpa
lagi dengan Sasa.
Barangkali
begitulah perasaan sayang. Saat seseorang yang disayangi masih ada, tidak
terucap kata sayang bahkan teradang yang nampak hanya kebencian. Namun, tatkala
kesayangan itu telah pergi, rasa kehilangan menghatui tak terperi. Semua telah
terlambat. Dan seberkas sesal menumpuk di hati.
“Diva sayang,
sudah, Nak. Tak perlu disesali.” Suara lembut ibunya membuat Diva menoleh. Tak
ada kata yang terucap dari bibirnya. Ia hanya bergerak pelan untuk mendekap
ibunya. Ibu, wanita bersahaja yang selalu menenangkan baginya. Ibu mengusap
punggung Diva, seolah membesarkan hatinya.
“Kamu mau
bertemu bayi Sasa, Div?” tanya ibu dengan lembut. Diva mengangguk.
“Ayo!” ajak
ibu. “Sebentar, Bu.”
“Baiklah, ibu
tunggu di luar, ya.” Diva kembali mengangguk. Mencuci muka sebentar dan
mengeringkannya lantas melapisi wajahnya dengan bedak tipis. Ia oleskan
lipstick di bibirnya. Kemudian berangkat.
Mereka menemui
bayi itu di rumah Sasa. Tante Susi, ibunya Sasa, menyambut dengan hangat dan
membawa mereka ke kamar si bayi. Saat itu, si bayi tengah ditimang-timang oleh
Ali, sang ayah. Ali membawa bayi itu mendekat ke arah mereka. Ibu Diva sudah
berseru-seru riang khas ibu-ibu saat bertemu dengan bayi yang menggemaskan.
Sementara itu, Diva sedang mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak sejak ia
melihat Ali.
“Kamu mau
menggendong bayinya, Div?” ibu bertanya.
“Eh, em,
okelah.” Diva menjawab tergagap. Diva memang terbiasa dengan bayi dan anak-anak
karena semenjak kecil ia terbiasa mengasuh adik-adiknya. Jadi ia pikir tak ada
salahnya menggendong bayi itu.
Ali mendekat
dan menyerahkan bayi itu. Sehati-hati apapun, tanpa sengaja tangan Diva
bersentuhan dengan Ali. Sentuhan sekilas itu membuat hatinya kembali
bergejolak. Memuncul kata andai di hatinya. Andai
bayi ini anakku dan Ali. Andai Ali adalah suamiku. Tidak, tidak, tidak. Diva
menepis kata hatinya. Tidak ada pengandai-andaian seperti itu.
Diva menimang
dengan penuh kasih. Sasa, lihatlah
bayimu. Ia secantik dirimu. Dan lihatlah, Ali harus membesarkan ia tanpamu.
Memang tak ada
yang tahu garis kehidupan manusia kecuali Sang Pencipta. Kehidupan, kematian,
dan jodoh sudah ditentukan. Manusia hanya perlu menjalani dengan usaha dan
berserah diri kepada Tuhan. Dan begitulah garis kehidupan Diva. Ia telah
ditakdirkan untuk menjalani semua ini. Kini ia menjadi saksi kisah menyedihkan
milik sahabatnya. Bayi tak berdosa itu dan Ali yang harus melanjutkan hidup
tanpa seseorang terkasih. Diva saksinya.
***
Kehidupan
kembali berjalan normal meski sisa-sisa kepedihan masih bergelayut di mata Diva.
Namun apapun yang terjadi, kesedihan tak boleh berlarut-larut. Ada banyak hal
yang masih harus diselesaikan. Toko kue milik Diva salah satunya. Pesanan
datang silih berganti. Dari yang jumlahnya sedikit hingga yang berjumlah
ratusan. Semua itu penting sekali untuk diurus. Sedikit banyak mampu menjadi
pelipur lara.
Siang itu,
saat Diva tengah berkutat dengan pesanan kue dari walikota, Ali datang mengetuk
pintu tokonya. Sekaligus mengetuk pintu hatinya. Ali datang menawarkan kembali
kisah mereka yang tertunda.
“Aku yang
menghancurkan kisahmu, izinkan aku kembali memperbaikinya. Aku tidak berjanji.
Tapi aku akan berusaha. Ingatkan aku jika aku mulai lalai. Berikan kesempatan
padaku untuk kembali melukis senyum di wajahmu.” Kalimat itu yang Ali ucapkan
saat mereka duduk berdua di pojokan toko. Diva meremas cangkir cokelat
panasnya. Matanya menatap lurus seolah ingin memindai ketulusan di mata Ali.
Ya, laki-laki itu tulus mengucapkan kalimat itu. Namun apakah semudah itu bagi Ali
untuk meminta memperbaiki kembali kisah yang ia hancurkan.
Bagaimana Diva
bisa bersama Ali tanpa terbayang wajah sahabatnya? Wajah Sasa akan menghantui
setiap kali ia bersama Ali. Saat ia memeluk Ali, akankah ia tidak terbayang
bahwa itu pernah Ali lakukan dengan karibnya? Berjuta tanya melayang di benak Diva.
“Tak perlu
dijawab sekarang, Div. Aku tahu tak semudah itu memaafkan kesalahanku.” Ucapan
Ali memecah tanya di benak Diva.
“Bukan masalah
memaafkan, Ali. Aku bisa memaafkan semua yang telah terjadi. Namun, bagaimana
dengan melupakan? Apakah aku dapat melupakan semua kenangan menyakitkan itu?
Itu bukan perkara yang mudah, Ali. Saat aku bersamamu, apakah ada jaminan aku
tidak teringat masa-masa bahagiamu dengan Sasa? Bagaimana jika itu menjadi
momok menakutkan setiap aku bersamamu?” tanya itu akhirnya terlontar dari mulut
Diva.
Ali termenung
sejenak. Wajah sendunya kembali lagi. “Aku memang tidak layak mendapatkan
kembali kisah bahagia itu bersamamu, Div. Maafkan aku. Aku pamit,” kata Ali
sambil berlalu.
Di luar toko,
hujan deras menyelimuti. Ali berjalan menyusuri trotoar dengan pikiran kacau.
Ia merasa dirinya adalah laki-laki paling bodoh sedunia. Bagaimana ia bisa
merusak kebahagiaan orang yang begitu ia cintai? Merusak kisah bahagia
miliknya, bahkan membahayakan hubungan persahabatannya. Ia sungguh bodoh. Tuhan, beri aku lebih banyak waktu untuk
membahagiaan orang yang aku cintai. Ia berbisik di tengah guyuran hujan.
Kemudian Ali tersentak saat menyadari ada seseorang yang menyentuh lengannya.
Ia berbalik dan menemukan wajah itu dihadapannya.
“Diva!”
serunya mengalahkan suara hujan.
Tak ada kata
yang terucap dari gadis itu. Ia hanya bergerak untuk memeluk laki-laki
dihadapannya. Aku mencintaimu. Itu yang
aku tahu. Biar sisanya diurus belakangan. Diva menuruti kata hatinya.
Kulon Progo,
September 2017
Comments
Post a Comment