Kata
orang, datangnya cinta itu dari mata turun ke hati. Dan menurutku itu benar
adanya. Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Matanyalah yang membuatku jatuh
cinta. Bola matanya yang bulat dengan iris yang berwarna coklat terang
membingkai sempurna pupil mungilnya. Bulu matanya yang lentik dan tatapan
matanya yang tajam namun sarat dengan kelembutan. Semua itu membuatku jatuh cinta
sekaligus iri. Iri karena mataku tak seindah matanya.
“Aku suka matamu.” Kataku terus terang.
“Dan
aku suka apa yang aku lihat darimu dengan mataku.” Jawabnya penuh misteri.
Maksudnya? Aku tak mengerti apa maksud dari ucapannya tadi. Dan dia tak mau repot-repot
memberitahuku.
Aku suka matanya. Teramat suka. Dan
kau tahu, ternyata ia tak pernah menyukai matanya. Kenapa? Karena matanya bukan
mata biasa. Matanya luar biasa.
“Kamu tahu? Aku tak pernah
menginginkan mata ini. Lebih baik aku buta daripada harus punya mata ini.” Ia
berkata dengan nada kesal.
“Kenapa kau berkata seperti itu?”
“Karena ini bukan mataku.”
“Lalu mata siapa kalau bukan
matamu?” aku bertanya keheranan.
“Chorina, dulu aku ini buta. Tak
secuilpun kehidupan ini dapat kulihat. Sampai akhirnya ada seseorang yang mau
mendonorkan matanya untukku. Sejak saat itu aku bisa melihat. Aku bisa melihat
apapun. Bahkan hal-hal yang tak seharusnya aku lihat. Apapun yang kulihat
dengan mata ini aku tak pernah suka. Kecuali satu....”
“Apa?” Tanyaku memotong ceritanya.
“Kamu. Kamulah satu-satunya hal yang
aku suka melihatnya dengan mata ini.”
Aku
terdiam. Tak tahu apa yang harus aku katakan. Aku tersipu malu tapi ada rasa
bahagia yang perlahan menyusup ke dalam relung-relung jiwaku. Dan perlahan tapi
pasti ada semburat merah jambu yang muncul di pipiku.
Pada
lain kesempatan, ia menceritakan apa yang ia lihat dariku.
“Memandangmu
itu selalu menyenangkan.” Ucapnya mengawali pembicaraan.
“Kenapa?”
“Karena
aku melihat ketulusan di matamu, kelembutan disetiap gerakmu dan kebahagiaan
yang selalu mengiringi langkah kakimu.” Ia berhenti sejenak. Aku menunggu apa
yang akan ia ucapkan selanjutnya. Lalu, ia bertanya, “Apakah kamu tahu bahwa
kau selalu diikuti oleh sepasang kupu-kupu?” Aku menggeleng. Aku tak pernah
tahu kalau aku diikuti sepasang kupu-kupu. Kemudian, ia menunjuk sepasang
kupu-kupu yang hinggap di samping tempat duduk kami.
“Kedua
kupu-kupu ini selalu mengikuti kemanapun kamu pergi. Dan satu hal yang kamu
harus tahu, kupu-kupu itu selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Lalu
apa lagi yang kau lihat dariku?” Tanyaku penasaran.
“Aku
melihat bahwa kau ditakdirkan untuk menjadi jodohku.”
***
Siang ini, dunia
berkabung. Langit mendung dan sang raja siang enggan menampakkan diri. Mataku
membengkak sebesar bola tenis. Aku terlalu lelah untuk menangis. Sudah cukup
banyak air mata ini tumpah mengiringi kepergiaanya. Dia telah pergi
meninggalkan dunia fana ini. Meninggalkan aku sendiri dengan sejuta tanya
tentang dirinya. Ku antarkan ia sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Aku ingin memastikan dia tenang di tempatnya sekarang.
Aku mengutuk
keadaan. Pada saat aku merasa bahagia karena ia ada di sisiku, selalu ada
untukku. Mengapa Tuhan setega ini mengambil dia dari sisiku? Aku tak akan
sanggup menjalani lika-liku kehidupan ini tanpanya. Tanpa mata ajaibnya. Ini tidak adil. Ini tidak adil. Ini tidak
adil. Aku merasa Tuhan tidak adil kepadaku. Tuhan terlalu egois. Teganya
mengambil dia tanpa permisi. Mengambil dia secara tiba-tiba. Terlalu mendadak.
Masih kuingat jelas
pesan terakhirnya, “Chorina, belajar makna kehidupan itu lebih sulit daripada
belajar ilmu pengetahuan di sekolah formal. Teruslah belajar dan jangan pernah
menyalahkan keadaan, meskipun aku tak lagi berada di sisimu. Berjanjilah,
Chorina! Berjanjilah padaku!” kala itu aku hanya mengangguk menyanggupi. Tak
kuduga akan serumit ini menerima keadaan tanpa dia di sisi. Padahal aku sudah
berjanji padanaya. Ah, semoga saja ia memaafkanku atas semua ini.
Aku
mengurung diri di kamar. Panggilan ayah dan ibu tiada pernah ku hiraukan.
Makanan yang ibu antarkan untukku tak secuilpun ku sentuh. Aku tidak ingin
makan, aku tidak ingin berbicara dengan ayah dan ibu, aku hanya ingin bertemu
dia. Entah berapa hari aku mengurung diri di kamar, sampai akhirnya ada sebuah
kejadian yang mengejutkanku. Dari jendela kamarku, ku lihat dua titik cahaya
berwarna biru. Cahaya itu semakin dekat dan semakin dekat menuju ke mataku. Aku
ketakutan. Tapi cahaya itu terus mendekat dan akhirnya masuk ke kedua mataku.
Seiring dengan masuknya cahaya itu, aku tak sadarkan diri.
Di
dalam ketidaksadaranku, sepertinya aku bermimpi. Bermimpi bertemu dia. Dia
datang dengan wajah berseri dan senyum manisnya. Sedangkan aku dalam keadaan
menangis. Ia membelai rambutku.
“Chorina,
bukankah kau sudah berjanji padaku? Mengapa engkau mengingkari janjimu.
Tidakkah kau ingat perkataanku?”
“Aku
ingat, selalu ingat. Tapi tidak mudah melepaskan kepergianmu begitu saja.
Apalagi kamu pergi terlalu mendadak.”
“Ingatkah
kamu siapa penulis favoritmu?”
“Ya,
tentu saja aku ingat. Darwis Tere Liye.”
“Bukankah
ia pernah berkata, apapun bentuk kehilangan itu,
ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi.
Bukan dari sisi yang ditinggalkan. Lalu, mengapa akal sehatmu menghilang? Membuat kamu
berani melawan takdir Tuhan. Itu salah, Sayang. Teramat salah. Tidak seharusnya
kamu melawan Tuhan. Dia yang menciptakan aku, engkau dan apapun yang ada di
dunia ini. Jadi, sudah haknya untuk mengambil kembali apa yang diciptakannya.
Tidakkah kamu mengerti, Chorina?”
“Maafkan
aku. Aku terlalu menyayangimu. Itulah yang membuat aku sulit untuk
mengikhlaskan kamu pergi. Aku terlalu terbiasa ditemani kamu. Aku tidak bisa
hidup tanpamu.”
“Sekarang
dengarkan aku baik-baik. Aku mohon padamu, belajarlah menerima keadaan, sesulit
apapun keadaan itu. Jangan pernah salahkan Tuhan. Karena Tuhan selalu adil.
Selalu. Percayalah, Chorina! Terkadang hanya kitalah yang tidak merasakan
keadilan itu. Semua itu karena kita tidak pernah merasa cukup. Mengertilah,
Sayang! Aku harap setelah pertemuan ini kamu akan menjadi lebih dewasa. Lebih
ikhlas menerima apapun yang Tuhan takdirkan untukmu. Jangan lagi kamu menangisi
kepergianku. Aku tidak butuh dan tidak suka tangisanmu. Tersenyumlah!”
Aku
tersenyum. Ya, aku merasa apa yang dia katakan sepenuhya benar. Akulah yang
egois. Akulah yang tidak mau menerima keadaan. Beraninya aku menyalahkan Tuhan.
Aku makhluk yang tak tahu bersyukur. Oh, Tuhan maafkan aku ini.
“Oh,
ya. Satu lagi. Mulai saat ini matamu akan berfungsi seperti mataku.”
“Mengapa
seperti itu?”
“Bukankah
kau kedatangan dua titik cahaya biru?”
“Iya.”
“Gunakanlah
matamu dengan bijak. Semoga engkau menjadi orang yang pandai mensyukuri keadaanmu.
Tenang saja, kau masih bisa bertemu denganku. Tapi tidak setiap saat aku akan berbicara
kepadamu. Aku hanya akan berbicara untuk mengingatkan kamu.”
“Baiklah.
Terima kasih sudah datang untuk mengingatkan aku.”
“Sama-sama.
Sekarang pulanglah! Orang tuamu menunggu.” Ia tersenyum. Dan aku pulang,
kembali ke duniaku. Dunia di mana orang tuaku berada.
Aku kembali dengan pola
pikir yang baru. Aku siap menerima takdir Tuhan, serumit apapun takdir-Nya. Aku
telah menerima kepergiannya. Dia memang mati, tapi matanya hidup. Matanya hidup
di dalam mataku. Dan kata-katanya melekat di memori otakku. Menjadi semangatku.
Aku melihat dia lebih bahagia di sana daripada di sini. Selamat jalan, Sayang!
Aku berjanji akan selalu membuatmu bahagia dan tunggu aku
menyusulmu. J
Comments
Post a Comment